PERNIKAHAN SIMULASI (Bag 3)

Kamis, Januari 30

Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon.Separuh jiwaku ras anya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.“Kenapa? Idan melarangmu?”“Dia tidak tahu apa-apa.”“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kausudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkandenganku kau bisa mendapatkan semuanya? ”Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baruakan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan,hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulaihidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidakjuga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kauhanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itudisuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yanglebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembalidenganku.”“Aku tidak bisa ….”“Kenapa tidak?”Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkanmemang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya beratsekali memutuskannya?“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukankesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaanyang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernahbisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuanyang mencintai lelaki lain.”“Aku ….”“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruhtubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makincepat. Kupejamkan mataku.“Aku tidak mencintaimu,” gumamku.“Lebih keras lagi.”“Aku tidak mencintaimu.”“Kau berbohong.”Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya.”“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia”ku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepatatau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwaaku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idansendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkinia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisamembenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisahdenganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin akubahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yangterbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa akuharus segan menyampaikannya pada Idan?Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yangtepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilandakeraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harusmenempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapatorang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segerasetelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.”“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi … Entahlah.”“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.“Jadi, bicaralah dengan Idan.”Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicaradengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanyaberbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadiberpikir, ada apa sebenarnya.“Kenapa kau sudah di rumah?” tanyaku.Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku kedalam rumah.“Ada apa?”“Sst!”Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannyatangannya.Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tigaorang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarnahijau dengan gambar … mawar putih?“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” katanya.Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benarsumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pastitelah berubah warna.“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku sambil kembali menatapayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya.Ia duduk di ayunan itu. “Ayo,” katanya sambil menarik tanganku.Aku duduk di sampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benartidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi.Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara akusendiri sama sekali tak mengingatnya? Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedangmenceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali takmendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segerakuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakansegalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yangtelah kubangun runtuh berserpihan.“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,” teguran Idanmembuyarkan renunganku. “Ada apa?”Kutatap matanya. “Dan, Pram pulang.”Dahinya berkerut. “Pram?”“Pacarku yang pergi ke Jerman.”“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.“Dia sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku bicara.Aku menggeleng.“Lalu?”“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat, tanpa memandangwajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku inginkita segera bercerai.”“Oh.”Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnyaia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, ”Kau yakin iamencintaimu?”Aku mengangguk.“Kau yakin akan bahagia dengannya?”Sekali lagi aku hanya mengangguk.“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikutbahagia.”Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitikpun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab denganantusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapawaktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.“Dan?” tegurku.“Ya?” “Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kaupunya alasan untuk bercerai denganku.”Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku. “Pit, bangun!”“Ada apa?” gumamku . Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukultiga lima belas dini hari.“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”Aku terlonjak duduk. “Apa?”“ Ganti baju,” perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. “Kapan.”“ Baru saja.”“Di?”“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.”“Idan ….”Ia membanting pintu kamar di depanku.Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yangpantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depanmasih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.“Dan, aku sudah siap.”Tidak ada jawaban.Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lamputaman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi dibalik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongkuterjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinyakuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku iamenangis.Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu iakembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang menguruspemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannyadengan ketenangan yang nyaris mengerikan.

PERNIKAHAN SIMULASI (Bag 2)

Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapanpagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidakmemprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telahmenyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saatmenggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku danbahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamarmandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali kekamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali danbunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yangbaru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susucokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangiskarena terharu.“Kau tidak ke kantor? ” tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kataramah pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.“Ini hari Minggu, Pit.”“Aku sudah sakit selama seminggu ?” bisikku tak percaya.“Ya,” Idan tersenyum. “ Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Akutidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.”“Ibuku kan di sini.”“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisameninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi. “Tidak main bola?”Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas.“Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk dibangku cadangan.”Aku tersenyum.“Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agakgemuk. Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.“Kau mau pergi memancing nanti sore?”Ia menggeleng lagi.“Kenapa?”“Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalaukutangkapi terus, mereka bisa punah.”“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepadamereka, ya.”“ Terima kasih untuk apa?”Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya,batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, ”Karena meminjamkanmuuntukku hari ini.”Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnyalenganku. “Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kaubilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau akusudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu sajamembatalkannya kan?”Aku mengangguk dengan leher tersumbat.“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanyakemudian. “Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, PitNanti air jerukmu asin.”“Selamat ulang tahun, Pit.”Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagiini di kamarku!”“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit darikursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. “Ayo! Akumau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!”Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku.Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat denganberbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satulagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar.Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idanuntukku. Pisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.“Kau lihat?” Idan memotong renunganku.“Apa?”“Hadiahku.”Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu.Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yangberubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelahmembuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, akuberpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.“Kau tidak menemukannya?” tanya Idan, dengan setitik kecewa dalamsuaranya.Aku menggeleng.“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat rautwajahku yang tak berubah, menambah.“Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.”Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu banggadengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadarbahwa aku kecewa. “Oh ,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkankedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlaluseperti hari-hari kemarin.Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyumpernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapamereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuahkotak panjang dengan tutup sel ofan. Setangkai mawar putih. Sesaatjantungku rasanya berhenti berdenyut.Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketikakepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggudi tempat biasa.Mungkinkah?Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan temantemankuyang tak kenal ampun. Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak akumelihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisaseromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberikumawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkanbisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolokdi bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian danketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolamkecil beri si teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik airterjun buatan di sepanjang satu dindingnya.Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut,terhalangi seru mpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidaklagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yangdewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tigatahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnyaseseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatikumengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembalilagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga a ku sulitmemisahkan kini dan saat itu.Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggamtanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,” kelembutan suaranya masihseperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masihpersis seperti yang kukenang. “Kau datang.”“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan matakudari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama takpernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada.Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentangsiapa pun juga.Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikianterguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnyagetaran di suaraku membeberkan semuanya.“Kau masih ingat.”“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum.“Kapan kau pulang?”“Tadi pagi.”“Dengan anak istrimu?”Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.”Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harusmengatakan apa.“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,”senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah danmungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari, danaku tetap tak bisa menemukan penggantimu. ”Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat inijuga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluangkarier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkanuntuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanyamenjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau iaadalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awalperpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas.Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yangsemua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak adalagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelakisesemp urna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.“Kau sendiri bagaimana, Ta?”“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampamakna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan?“Selamat!” ia kedengaran tulus, tapi di hatiku

PERNIKAHAN SIMULASI (Bag 1)

Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasipernikahan.ku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?” Aku mengangguk cemberut.“Apa jawaban mu kali ini?” godanya.“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk kekamar.”Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisanalasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadiibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikahpada usia tiga puluh tiga.”“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,”komentarku.Alis Idan terangkat. “Kenapa?”“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanyakesulitan?”“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementarakeuntungannya lebih banyak?”“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahutentang keuntungan menikah.”“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluhlima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukuppelik tanpa perlu lagi menikah?”Idan tersenyum. “Ya, memang.”“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Akuhanya masih menunggu calon yang pas.” Dan aku menghela nafas panjang.“Ah, ya. Calon.” “Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”“Ya, ” gumamku enggan.“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang akukepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku,aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana?Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku iamenghindar sambil tertawa.“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrakpenggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yangsalah. Kalau saja,” aku terdiam.“Apa?”“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baikhati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisatahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang sukamemukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, sukaberbohong dan berkhianat.”“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadiroh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai,mata tertutup, lidah terjulur.“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidaktidaknyapada satu orang saja dari golongan laki-laki.”“Aku tidak bisa, Dan.” “Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan.Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsarakau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan”“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyummendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadisahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasaia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selangwaktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapatpasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punyaseseorang yang akan menemani dan melindungimu.”“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali manyun. “Satu, ini hidupkubukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamikuberkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua,aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri.Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu,plus bodyguard kalau perlu.”“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalamdalam.“Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinanmenikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagiyang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yanglumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihanuntukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadikesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”“Bagaimana dengan keturunan?”“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi,kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya.Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka.Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan dirikusendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak adakepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjanghidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, akuakan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan?Untuk apa?”Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”“Kau terlalu banyak menonton film romantis ,” olokku. “Kau tahu berapalama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”“Berapa lama?”“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi danimajinasi.”“Imajinasi?”“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau bencisekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikahdengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.” “Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yangharus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.“Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedangmembicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak menertawaimu. Kalau kaubenar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah,yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akanmerasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi,tertawalah. Tertawalah keras-keras.”“Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi,Dan. Bukan ide-ide konyol.”Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akankedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisamenyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada raslaki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimikseriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyatakelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting,jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selamapuluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enamlelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang takberganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku,sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar daridepresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di duniayang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.“Ya. Aku percaya kepadamu.”“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untukkebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahatterselubung di balik ideku ini. Percayalah.”“Idan! ” potongku tandas. “Ide apa?”“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara denganhati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. “Kita akanmelakukan pernikahan.”“Apa?”“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengansemua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”“Bulan madu?”4Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, ”Simulasi”. Sekali lagi,simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri —-simulasi—- sambilmempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begituberambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasayakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kitabercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalauternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisacari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untukmelihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpapenalti. Bagaimana?”“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idanmantap. “Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajarseperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguhmenikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku,yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguhpendirian….”“Serius, Idan, serius!”“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akanmengalami kerugian apa pun.”“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”“Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.“OK. Pernikahan simulasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang statusjanda setelah kita bercerai.”“Simulasi.”“Idan!”“Upit!”“Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segeramenjejeriku.“Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu dimatamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpunwajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depanperempuan malang manapun yang mencintaimu.”Matanya berbinar. “Kau tidak marah lagi, kan?”Aku menggeleng. “Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmumemang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan ke luar dari suatuproblem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinyatidak peduli dengan masalahku.”“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinyatampak begitu tulus. “Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.”“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah,denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormatkepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat rautwajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.”Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta.Di mana pun.”Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu.Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itukepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelummenertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung,tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya denganIdan. “Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam -diam mengawasi,” matanyakembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kitahanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….”“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idantersenyum.Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Dauddengan mas kawin tersebut, tunai.”Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apaia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya,seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?Ibuku meneteskan air mata