PERNIKAHAN SIMULASI (Bag 2)

Kamis, Januari 30

Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapanpagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidakmemprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telahmenyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saatmenggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku danbahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamarmandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali kekamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali danbunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yangbaru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susucokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangiskarena terharu.“Kau tidak ke kantor? ” tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kataramah pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.“Ini hari Minggu, Pit.”“Aku sudah sakit selama seminggu ?” bisikku tak percaya.“Ya,” Idan tersenyum. “ Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Akutidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.”“Ibuku kan di sini.”“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisameninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi. “Tidak main bola?”Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas.“Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk dibangku cadangan.”Aku tersenyum.“Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agakgemuk. Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.“Kau mau pergi memancing nanti sore?”Ia menggeleng lagi.“Kenapa?”“Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalaukutangkapi terus, mereka bisa punah.”“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepadamereka, ya.”“ Terima kasih untuk apa?”Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya,batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, ”Karena meminjamkanmuuntukku hari ini.”Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnyalenganku. “Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kaubilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau akusudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu sajamembatalkannya kan?”Aku mengangguk dengan leher tersumbat.“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanyakemudian. “Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, PitNanti air jerukmu asin.”“Selamat ulang tahun, Pit.”Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagiini di kamarku!”“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit darikursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. “Ayo! Akumau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!”Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku.Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat denganberbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satulagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar.Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idanuntukku. Pisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.“Kau lihat?” Idan memotong renunganku.“Apa?”“Hadiahku.”Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu.Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yangberubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelahmembuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, akuberpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.“Kau tidak menemukannya?” tanya Idan, dengan setitik kecewa dalamsuaranya.Aku menggeleng.“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat rautwajahku yang tak berubah, menambah.“Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.”Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu banggadengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadarbahwa aku kecewa. “Oh ,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkankedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlaluseperti hari-hari kemarin.Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyumpernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapamereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuahkotak panjang dengan tutup sel ofan. Setangkai mawar putih. Sesaatjantungku rasanya berhenti berdenyut.Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketikakepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggudi tempat biasa.Mungkinkah?Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan temantemankuyang tak kenal ampun. Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak akumelihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisaseromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberikumawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkanbisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolokdi bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian danketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolamkecil beri si teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik airterjun buatan di sepanjang satu dindingnya.Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut,terhalangi seru mpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidaklagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yangdewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tigatahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnyaseseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatikumengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembalilagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga a ku sulitmemisahkan kini dan saat itu.Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggamtanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,” kelembutan suaranya masihseperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masihpersis seperti yang kukenang. “Kau datang.”“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan matakudari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama takpernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada.Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentangsiapa pun juga.Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikianterguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnyagetaran di suaraku membeberkan semuanya.“Kau masih ingat.”“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum.“Kapan kau pulang?”“Tadi pagi.”“Dengan anak istrimu?”Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.”Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harusmengatakan apa.“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,”senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah danmungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari, danaku tetap tak bisa menemukan penggantimu. ”Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat inijuga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluangkarier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkanuntuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanyamenjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau iaadalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awalperpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas.Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yangsemua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak adalagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelakisesemp urna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.“Kau sendiri bagaimana, Ta?”“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampamakna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan?“Selamat!” ia kedengaran tulus, tapi di hatiku
kata itu menyakiti. “Akuselalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinyakalau dulu kukatakan “ya ”? Sepuluh tahun bersama Pram, seperti apa?Ia menggeleng. “Aku hanya memintamu memilih.”Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat iabertanya, ”Kau sudah menikah?”Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup . “Siapa?” tanyanya lirih.“Idan,” jawabku kaku.“Idan? Irdansyah temanmu?”“Sahabatku.”“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah berapa putramu?”Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiapkali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuahkotak mungil dari sakunya.“Aku…,” dibukanya kotak itu. “…Aku se ndiri menganggap diriku gila,karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang sepertiini, dibenakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahunsegalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….”Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Akuterkesima.“Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka tokobarang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,” tanpa memintaizinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.“Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.” “Kau suka?”Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan. “ Kau….Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot…,” suaraku keluar dengan susahpayah.“Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akanmembuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkankupadamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidakmengingatmu,” ia tertawa kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini.Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanakfamili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer.”Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demipertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatkubahagia? Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalamhati. Tidak. Tidak .Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya diJerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasanwawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikanPram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka.Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannyasempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku. Sudah terlambat,sambatku kepada diri sendiri.Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satukegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Ta,” katanya dengan mataberbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencaribarang antik….”Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. “Maaf,” katanya sejenakkemudian.“Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku.“Baiklah. Mau kuantar?”“Aku ada mobil.”Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanyaberbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemulagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisamengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.”Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta denganmasa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau sajaaku bisa mengucapkan ya.Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup.“Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidakpunya banyak teman di sini.”“ Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasaikehausan untuk berlama-lama dengan Pram. Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Di belakangnyaia menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau bersedia. Akumenunggu.”Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat sepertigadis belia yang sedang m abuk kepayang. Aku bukan remaja lagi danseharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisamembohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semuaharapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakahkemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya,kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidakketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapanpun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akanberbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya?Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanyamustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya jugatidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat ataulambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinyakuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.Aku memikirkanmu.Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dansuaranya dari benakku?Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapibisakah kau menghentikan badai?Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal di luarkepala itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan digaleri baru dekat kantorku.”“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.”Dan esok harinya kuhabis kan bersama Pram, mendiskusikan lukisan danbenda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisamemungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram,membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersamaIdan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tibabertanya.“Kenapa kau menikah dengan Idan?”“Kenapa kau bertanya?”“Seingatku, ia bukan tipemu.” Aku tertunduk.“Kenapa, Ita?”“Idan mencintaiku ,” bisikku pelan.“Apa kau mencintainya.” Kebisuanku memberinya jawaban.“Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih.Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”“Jangan berbohong.”“Idan suami yang baik.”“Tapi apa kau bahagia?”Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu,melewatkan waktu bersamanya?“Berapa lama kau menikah dengan Idan?”“Setahun.”“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karenaterpaksa? Karena usia dan….”“Stop.”Aku bangkit dan meninggalkannya.Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakahkau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahupernikahan tidak membuatmu bahagia?Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan airmataku.“Ita,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan.“Ada apa?”“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluarsebentar. Aku harus menelepon Idan.”Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Akutiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernahmengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hatidan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya,seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.“Idan.”“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”“Aku …. Kau tahu …, ” aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepadasuamiku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang dirundungkasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidakberhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagisekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku.Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan halseperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan. “Ya?” desak Idan.“Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?”“Sekretarismu? Tentu.”“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”“Lalu?”“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapisekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekaspacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”“Tapi Indri sudah punya anak dua kan?”“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilihuntuk tinggal dengan siapa.”“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”Aku menghela napas. “Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku takbisa menjawab.”“Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipunia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepadaseseorang di ujung sana, “Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailahdulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungkurasanya melesak ke dalam bumi.“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku …,” suara Idankembali di telepon.“Karena kau yang membuatkan kopi?”“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “…Kupikir Indri danpacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkankeinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang jugaharus diperhitungkan.”“…Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apaperkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?”“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnyaitu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa merekabenar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulangkeindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang merekainginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri danpacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukanlagi remaja yang masih hijau.”“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidakpernah mencintai suaminya.”“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”“Keadaan.”“Maksudnya?” “Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidakmengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”“Astaga. Kasihan sekali.”“Jadi bagaimana?”Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak maujadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untukmeninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karenamerasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya,aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanyamengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”“Lantas aku mesti bilang apa?”“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran daripakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.”“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.“Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja,Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagimengurusi rumah tangga orang.”“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku danterpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasihuntuk saran dan waktumu.”“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!” iaberteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon. “Iya, Pak,sebentar. Istri saya ….”Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri. 

0 komentar:

Posting Komentar