PERNIKAHAN SIMULASI (Bag 3)

Kamis, Januari 30

Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon.Separuh jiwaku ras anya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.“Kenapa? Idan melarangmu?”“Dia tidak tahu apa-apa.”“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kausudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkandenganku kau bisa mendapatkan semuanya? ”Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baruakan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan,hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulaihidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidakjuga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kauhanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itudisuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yanglebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembalidenganku.”“Aku tidak bisa ….”“Kenapa tidak?”Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkanmemang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya beratsekali memutuskannya?“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukankesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaanyang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernahbisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuanyang mencintai lelaki lain.”“Aku ….”“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruhtubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makincepat. Kupejamkan mataku.“Aku tidak mencintaimu,” gumamku.“Lebih keras lagi.”“Aku tidak mencintaimu.”“Kau berbohong.”Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya.”“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia”ku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepatatau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwaaku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idansendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkinia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisamembenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisahdenganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin akubahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yangterbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa akuharus segan menyampaikannya pada Idan?Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yangtepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilandakeraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harusmenempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapatorang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segerasetelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.”“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi … Entahlah.”“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.“Jadi, bicaralah dengan Idan.”Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicaradengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanyaberbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadiberpikir, ada apa sebenarnya.“Kenapa kau sudah di rumah?” tanyaku.Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku kedalam rumah.“Ada apa?”“Sst!”Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannyatangannya.Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tigaorang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarnahijau dengan gambar … mawar putih?“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” katanya.Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benarsumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pastitelah berubah warna.“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku sambil kembali menatapayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya.Ia duduk di ayunan itu. “Ayo,” katanya sambil menarik tanganku.Aku duduk di sampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benartidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi.Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara akusendiri sama sekali tak mengingatnya? Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedangmenceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali takmendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segerakuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakansegalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yangtelah kubangun runtuh berserpihan.“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,” teguran Idanmembuyarkan renunganku. “Ada apa?”Kutatap matanya. “Dan, Pram pulang.”Dahinya berkerut. “Pram?”“Pacarku yang pergi ke Jerman.”“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.“Dia sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku bicara.Aku menggeleng.“Lalu?”“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat, tanpa memandangwajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku inginkita segera bercerai.”“Oh.”Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnyaia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, ”Kau yakin iamencintaimu?”Aku mengangguk.“Kau yakin akan bahagia dengannya?”Sekali lagi aku hanya mengangguk.“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikutbahagia.”Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitikpun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab denganantusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapawaktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.“Dan?” tegurku.“Ya?” “Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kaupunya alasan untuk bercerai denganku.”Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku. “Pit, bangun!”“Ada apa?” gumamku . Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukultiga lima belas dini hari.“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”Aku terlonjak duduk. “Apa?”“ Ganti baju,” perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. “Kapan.”“ Baru saja.”“Di?”“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.”“Idan ….”Ia membanting pintu kamar di depanku.Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yangpantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depanmasih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.“Dan, aku sudah siap.”Tidak ada jawaban.Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lamputaman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi dibalik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongkuterjungkal saat aku menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinyakuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku iamenangis.Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu iakembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang menguruspemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannyadengan ketenangan yang nyaris mengerikan.
Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu,kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.“Pit, bawa Idan pulang.”“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?”Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk kehalaman belakang. Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuhbelas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itumembuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalamdari yang ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat asbak disampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas mejatinggal berisi sebatang.Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidakmemprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar.Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentangibunya.“Aku mau pulang, Dan, ” ujarku sambil memegang tangannya.Ia menggeleng pelan. “Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri.Besok aku pulang naik bus saja.”“Aku tidak mau sendirian di rumah.”Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepadakakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Iramenggamit tanganku dan berbisik, ” Aku senang Idan sudah menikahdenganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Iapaling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggaldengan Mama selama tiga puluh tiga tahun.”Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil.Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakatuntuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”“Nanti saja. Aku tidak lapar.”“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.“Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan lama.”Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suaraIdan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis danmuntah hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan akuhanya bisa terpaku di ambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan.Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidakmungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhankuagaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Inimembuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya.Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba sajaia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalampelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia kekamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dankuselimuti badannya yang menggigil.“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku.Mereka ….”“Aku tahu. Tidak apa-apa ,” tanganku masih gemetar saat aku mengelusrambutnya. “Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.”Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, iakelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnyatidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya,ia memegang tanganku.“Terima kasih.”“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,” iatersenyum nakal.“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Idan kemudian, ekspresinya begituserius. “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karenamengira aku sudah beristri. ”Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Akuyang mesti berterima kasih kepadamu.”“Untuk apa?”“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu.Pengorbananmu.”Idan tersenyum kecil. “ Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai.Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yangberterima kasih.”“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterima kasih.Mengalahlah sedikit.”Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi danitu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan idegilaku ini ,” katanya.“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capaiberkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihatusulmu itu sebagai jawaban yang pal ing jitu untuk menyelesaikan duamasalah sekaligus, keenggananku un tuk menikah, karena tidak ada calonyang pas; dan keinginan ibuku y ang menggebu-gebu untuk segera melihatkumenikah.”“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimiklebih serius.Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhir nya. “Aku belajar bahwa akutidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yangpunya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidakmendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapiboleh jadi suatu kemenangan bersama.”Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaanseperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untukmenyatakan semua itu.“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagisetelah kau pergi.”Aku tertegun. “Apa maksudmu?”Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saatpaling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengarsuaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di duniaini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku,aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Akujadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akanbersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kaumencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akalsehat.”Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Iatampak sangat tenang dan serius.“ Aku masih belum mengerti,” bisikku.“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Iniadalah pernikahan sesungguhnya untukku.”“Apa maksudmu kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitulugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatkuterempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindaskelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasantahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”“Kau … kau tidak pernah ….”“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cintadengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selaludatang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelakiidamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilangsebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jagopidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktiviskampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalubiasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan akubenci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punyakeberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewadengan caramu sendiri.”Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tandatandakalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya.Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah sepertiini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang takpernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mestimengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu.Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarangtidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memilikicintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadakuatau melupakanku sekalipun.”Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat iakembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku inginkau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar danakhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam danseparah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapkuhanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimulebih dari yang pernah kutunjukkan.”Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu.Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”Lama kami berdua saling berpandangan.“Terima kasih, Dan,” desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat,menyembunyikan air mataku di bahunya.“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda prosesperceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantasbicara soal perceraian saat ini.”“Berapa lama?”“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menundakepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali kesini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kitaakan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua.”“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Diamembutuhkan aku.”“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apakau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?” Aku menghela napaspanjang. “Entahlah, Pram, ” bisikku.“Apa maksudmu?” suara Pram terdengar kaget.“Aku …. Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita".“Ita! Kau tidak …. Dengar, pikir baik- baik. Menurutmu, kalau kautersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”“Tapi kau tidak bahagia!”“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idanmembuatku bahagia.”“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentarlagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karenamembuang kesempatan ini.”“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”“Ita, kau tidak mencintainya!”“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangatmencintaimu?”“Aku tidak pernah akan lupa, Pram.”“Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”“Idan mengajariku tentang cinta.”“Hanya karena itu?”“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.”“Ita ….”“Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya,atau mungkin lebih bahagia lagi.”Telepon kututup sebelum air mataku luruh.“Upit.”Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idanberdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggelengperlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.“Kenapa?” tanyanya.Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut iamenyeka pipiku dengan jarinya.“Aku tak bisa melihatmu begini ,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yangsangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalusekali lagi?”Aku mengangguk.“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.” Aku mengangguk.“Kau akan menyesal.” Aku mengangguk.“Kau akan sedih, kecewa ….” Aku mengangguk.“Kau tidak mencintaiku.” Aku menggeleng.Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya tertahan. “Idan!”Tamat

0 komentar:

Posting Komentar