PERNIKAHAN SIMULASI (Bag 1)

Kamis, Januari 30

Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasipernikahan.ku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?” Aku mengangguk cemberut.“Apa jawaban mu kali ini?” godanya.“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk kekamar.”Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisanalasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadiibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikahpada usia tiga puluh tiga.”“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,”komentarku.Alis Idan terangkat. “Kenapa?”“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanyakesulitan?”“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementarakeuntungannya lebih banyak?”“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahutentang keuntungan menikah.”“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluhlima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukuppelik tanpa perlu lagi menikah?”Idan tersenyum. “Ya, memang.”“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Akuhanya masih menunggu calon yang pas.” Dan aku menghela nafas panjang.“Ah, ya. Calon.” “Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”“Ya, ” gumamku enggan.“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang akukepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku,aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana?Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku iamenghindar sambil tertawa.“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrakpenggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yangsalah. Kalau saja,” aku terdiam.“Apa?”“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baikhati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisatahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang sukamemukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, sukaberbohong dan berkhianat.”“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadiroh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai,mata tertutup, lidah terjulur.“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidaktidaknyapada satu orang saja dari golongan laki-laki.”“Aku tidak bisa, Dan.” “Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan.Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsarakau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan”“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyummendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadisahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasaia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selangwaktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapatpasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punyaseseorang yang akan menemani dan melindungimu.”“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali manyun. “Satu, ini hidupkubukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamikuberkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua,aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri.Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu,plus bodyguard kalau perlu.”“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalamdalam.“Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinanmenikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagiyang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yanglumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihanuntukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadikesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”“Bagaimana dengan keturunan?”“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi,kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya.Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka.Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan dirikusendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak adakepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjanghidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, akuakan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan?Untuk apa?”Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”“Kau terlalu banyak menonton film romantis ,” olokku. “Kau tahu berapalama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”“Berapa lama?”“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi danimajinasi.”“Imajinasi?”“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau bencisekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikahdengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.” “Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yangharus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.“Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedangmembicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak menertawaimu. Kalau kaubenar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah,yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akanmerasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi,tertawalah. Tertawalah keras-keras.”“Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi,Dan. Bukan ide-ide konyol.”Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akankedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisamenyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada raslaki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimikseriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyatakelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting,jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selamapuluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enamlelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang takberganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku,sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar daridepresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di duniayang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.“Ya. Aku percaya kepadamu.”“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untukkebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahatterselubung di balik ideku ini. Percayalah.”“Idan! ” potongku tandas. “Ide apa?”“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara denganhati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. “Kita akanmelakukan pernikahan.”“Apa?”“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengansemua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”“Bulan madu?”4Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, ”Simulasi”. Sekali lagi,simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri —-simulasi—- sambilmempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begituberambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasayakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kitabercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalauternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisacari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untukmelihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpapenalti. Bagaimana?”“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idanmantap. “Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajarseperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguhmenikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku,yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguhpendirian….”“Serius, Idan, serius!”“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akanmengalami kerugian apa pun.”“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”“Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.“OK. Pernikahan simulasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang statusjanda setelah kita bercerai.”“Simulasi.”“Idan!”“Upit!”“Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segeramenjejeriku.“Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu dimatamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpunwajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depanperempuan malang manapun yang mencintaimu.”Matanya berbinar. “Kau tidak marah lagi, kan?”Aku menggeleng. “Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmumemang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan ke luar dari suatuproblem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinyatidak peduli dengan masalahku.”“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinyatampak begitu tulus. “Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.”“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah,denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormatkepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat rautwajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.”Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta.Di mana pun.”Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu.Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itukepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelummenertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung,tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya denganIdan. “Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam -diam mengawasi,” matanyakembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kitahanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….”“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idantersenyum.Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Dauddengan mas kawin tersebut, tunai.”Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apaia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya,seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?Ibuku meneteskan air mata
 sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. IbuIdan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia.Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orangoranglain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatatseperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangimelati dan wajah Pak Penghulu.Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, janganlupa itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnyaaneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongaksetelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yangnyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuahPak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpakupada kain batikku.Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, ”Kau pucat sekali.”“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”“Terlalu nervous?”“Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.”Aku tersenyum.“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercucidengan celanaku. Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernahmembosankan. Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akanmembosankan, koreksiku.
Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan —-simulasi-— kulewatkan dirumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karenakondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkinkarena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku denganIdan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dansetelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan,malam itu kami lewati dengan tidur.Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Akumenemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, seme ntara di atas mejaterhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadartelurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.”Ku cicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”“Pramuka,” komentar Idan ter senyum. Diletakkannya telur di atas mejadan ia duduk untuk sarapan. “Aku juga pandai tali-temali, semafor,menjahit.”“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akanmemperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masaksetiap pagi.”“Apalagi aku . Kita perlu cari pembantu.”“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur dikamar berbeda.”“Jadi?”Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?”pintanya.“Aku punya rice cooker.”Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuahpermainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya?Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanyajadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.“Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoinmerah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung didinding dapur.“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarahkeluarga,” katanya saat kembali ke kursinya. “Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,”lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulangterlambat.”Dahiku berkerut. “Untuk apa?”“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulangterlambat?”Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga dirikusendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di manakau kalau pulang terlambat.”“Kau kedengaran seperti diktator.”“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”“Itu terlalu banyak untukku.”Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupakapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salahmembaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidakpunya hak untuk mengaturku seperti itu.”Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih.Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. “Baik. Kalau itu maumu”desisnya kemudian.Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku samasekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku denganIdan memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idanakan semakin berang karenanya.Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnyauntuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemui ku di ruangmakan. “Aku pergi, Pit,” katanya dingin.Aku bangkit dari meja menghampirinya , berniat untuk memperbaikisituasi. “Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil mer aihtangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku. “Kupikir ada baiknyakucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku.”Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup danberlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.Dasar tidak tahu terima kasih!ku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulangkusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untukmemperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaanpertanyaanyang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamakumenghabiskan sore hari.8Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Akutahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau akusungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorangistri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagaisuamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabattidak boleh menuntut terlalu banyak.Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jarimanisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalampermainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannyawajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanyasatu pelajaran pertama dari permainan ini.Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan.Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal darisemua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan.Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marahmarahdulu.langkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukulsetengah dua belas malam dan Idan belum pulang?Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Denganmenggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibumertuaku , kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya,tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana.Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagihingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Akuminta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat.Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkandi sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakkusaat aku mengangkat receiver.“Upit?”“Idan?” jeritku. “Kau di mana?”“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh akupulang?”“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulaimeleleh di pipiku. “Kau di mana?”“Di luar.”“Di luar rumah?”“Ya. Dan aku lapar.”“Oh, Tuhan….”Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisimobilnya. Entah sudah berapa lama ia di sana. “Kau keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!”teriakku kepadanya.“Aku juga rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku rasanyasemakin perih melihat tawanya lagi.“Di mana saja kau dua hari ini?”“Di hotel kecil dekat kantor.”Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidakberkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanankegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap.“Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?” suaraku bergetar.“Aku perlu baju bersih,” ia tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.”Saat ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, iamenyambung, ”Selain itu , aku khawatir karena kau sendirian di sini.”Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.“Aku akan pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. “Aku harus lembur.Dikejar deadline.”Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapimataku terpaku pada es krim di hadapanku.“Oke,” katanya. “Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?”“Asal kau sisakan cukup untukku,” aku tersenyum.Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanyaberserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton filmaction —-genre yang paling tidak kuminati, dan sepak bola—- olahragayang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannyamengeluarkan pas ta gigi dengan memencet bagian tengah tubenya, tidakdari bawah seperti yang biasa kulakukan.Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhirpekannya. Setiap Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untukbermain sepak bola dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukulsetengah empat, ia pergi memancing. Untukku yang selalu menghabiskanwaktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari satupameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acaramakan-ma kan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Akutak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena akudengan sangat cepat akan mera sa jemu.Sebulan pertama aku berusaha mengerti . Ia selalu pulang dengan mataberbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelimakesabaran kutandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol airminum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidakmemancing.10“Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini,” pintaku.“Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil memasukkan kaus bersih danhanduk kecil.“Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.”“Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap takmemandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janjidengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.”“Kau bisa mencobanya minggu depan.”“Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,” ia tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “Akubias memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!”“Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.“Pakai voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari ditempat. “Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberilima belas ribu cukup?”“Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.”“Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belasribu.”“Oh, Tuhan!”Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan dipinggang. “Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi.”“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuhcuma keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya denganjalan-jalan.”“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kaubawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.” “Ini bukanmasalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian?Aku perlu teman.”“Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.”“Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”Idan mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?”“Ya!”“Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangansepak bola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.”“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu akubenci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!”Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,”desisnya. “Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.”“Mengalah!” suaranya meninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selamaini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku , apakau tidak bisa memberiku….”“Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benarbertemu dan bicara satu jam saat sarapan dan satu jam waktu makanmalam!”“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkanwaktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamardengan Pavarotti dan Flamingo.…”“Placido Dom ingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakaimenyaksikan orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluhdua orang memperebutkan satu bola kulit!”“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmuyang becek air mata itu!”“Kau kekanak-kanakan!”“Dan kau, Tuan Putri, kau egois!”Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintusamping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku.Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengansuaminya?Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng,tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidakmengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan melakukansemua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernahmenuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekalisejak aku menikah —-simulasi—- dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku,pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akanmenyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknyauntukku ? Tidak!Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku.Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, airmataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habistanpa terasa.Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandidan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirtdan celana jins.“Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,”katanya.“Aku tidak mau pergi ke mal.”“Kau bilang tadi pagi….”“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karenaalergimu kumat.” “Upit, kalau kita tidak pergi se karang, kita bisa pulang terlalu sore.Aku ada janji jam empat….”“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarangkalau kau mau.”“Jangan seperti anak kecil begini, Pit,” geramnya. “Ayo!”“Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!” Wajah Idan benar-benar merah sekarang. “Upit! Jangan main-main denganku!Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengancemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jamlagi.”“Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi”“Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dancokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melardan melar….”“Idan!” jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Iaterlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumurit-shirtnya. Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar dirike ranjang, sesenggukan.Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takutsekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali samasekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan akuterus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang beratmemaksaku tertidur kelelahan.Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergimemancing.Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karenakata-katakasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak adapilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku.Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor.Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejakia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporkudari pintu kamar yang terkuak.“Apa-apaan ini, Pit? ” tanyanya.“Aku pulang ke rumah Ibu.”Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudahini kau menyerah?” “Ini di luar dugaanku.”“Apa?”“Aku tidak mengira aku menikahi monster.”Idan terdiam, menunduk.“Aku…,” katanya lirih. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”“Aku sudah terlalu gemuk.” Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah,”Tidak. Kau cantik.”“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidakpunya arti apa-apa.”“Aku sudah mencoba jadi suami yang baik.”“Kau gagal.”“Setidaknya aku mencoba. Kau … kau tidak melakukan apapun supayapernikahan kita berhasil….”“Simulasi.”Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. “Simulasi.”“Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajarterlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akanmenikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu.”Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar darikamarku,aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancurberkeping-keping. Aku tak pernah mendu ga Idan bisa menyakitiku sehebatini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, akubangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,” suara Idan menyambutku.“Terlalu lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.”Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup saat akumembuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang adadibenakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan airhujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asahingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya ,air mataku larut dalam siraman hujan.Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabutkunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.“Ayo pulang,” katanya.Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Iamembopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikandiri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku. “Ganti bajumu,” katanya.“Semua bajuku di dalam kopor.”“Ambil bajuku.”“Tidak akan pernah!”Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mataberkobar,”Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!”“Monster,” desisku.alam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokannyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tabletpenurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksakeadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang kerumah orang tuaku. Setel ah itu semuanya kabur.Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika akuterjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku,sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengahmembersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun daritidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala apidalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahayamatahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dar i rumpun diluar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.“Ibu.”Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat iamenghampiriku.“Bagaimana? Sudah enakan?”“Idan mana?” bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya akubertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapapertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.“ Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.”Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.“Ibu sudah berapa lama di sini?”“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yangpaling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Akuberbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekalibelum siap untuk bicara lagi dengannya. “Bagaimana, Bu?” tanyanya,suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap didahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya iamenyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengantenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya. “Tadi bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnyasudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Janganberhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi iabangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dankau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit.Apa kau tidak capai?”“Saya pakai baterai Energizer, Bu.”Ibu tertawa lagi, ”Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Ka lau kausakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!“Sudah tanggung jawab saya, Bu.”Alangkah klisenya!Sunyi. “Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupaobatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, berisaja apa yang dia mau.”“Ya, Bu.”“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”“Baik, Bu.”Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi burukuntuknya.Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku.Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku inginmenghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yangmembuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksamembiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semuapenghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontaksaat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat.Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnyalagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entahberapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum ,merebuskan mi instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang kelantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklatdan memasakkan omelet yang hanya ku cuil sedikit. Pijatannya di kakikuterlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat iamulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk menyalakan televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulaimengangguk terlelap.Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak,memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapiia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah . Kesabarannya merusaksegalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya --yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya --yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasabersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri,menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dankebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekalitak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, akumengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Akumengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasamalu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu.Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan, hobi dan kegemarannyatak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yangmenyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu danmembiarkan kemarahan sesaat membutakanku?Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemanikuke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkanpertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untukmenyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam danbenci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaanini?

0 komentar:

Posting Komentar